Redenominasi Rupiah, Antara Gengsi Mata Uang dan Bayangan Inflasi - Guntara.com

Kamis, 13 November 2025

Redenominasi Rupiah, Antara Gengsi Mata Uang dan Bayangan Inflasi

Wacana Redenominasi Rupiah kembali mencuat akhir-akhir ini memicu kegaduhan dan perdebatan di masyarakat. Isu ini menjadi viral setelah beredar kabar mengenai target penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi yang akan mengubah nominal Rp1.000 menjadi Rp1. Analisis ini akan membedah fakta, target strategis, serta risiko yang mengintai kebijakan moneter ambisius ini, jauh dari sekadar spekulasi.

Redenominasi Rupiah, Antara Gengsi Mata Uang dan Bayangan Inflasi www.guntara.com
Redenominasi Rupiah, Antara Gengsi Mata Uang dan Bayangan Inflasi

Pemicu utama viralitas ini adalah dimasukkannya RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025–2029. Fakta validnya, RUU ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 dan ditargetkan rampung pada tahun 2027 (PMK 70/2025; Infobanknews, 2025). Meskipun demikian, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Bank Indonesia (BI) kompak menegaskan bahwa redenominasi belum akan diterapkan dalam waktu dekat dan menjadi kewenangan BI untuk menentukan waktu yang tepat (Kompas.tv/Infobanknews, 2025). Target 2027 lebih mengacu pada selesinya kerangka hukum, bukan implementasi langsung.


Redenominasi bukanlah sanering (pemotongan nilai uang), melainkan penyederhanaan nominal dengan menghilangkan tiga angka nol tanpa mengubah daya beli masyarakat. Data urgensi yang ditetapkan Pemerintah dalam PMK 70/2025 mencakup empat pilar utama:


  1. Efisiensi Perekonomian: Menyederhanakan transaksi, pencatatan akuntansi, dan sistem IT keuangan, yang kini harus berhadapan dengan nominal triliunan, sehingga mengurangi biaya operasional. 
  2. Kredibilitas Rupiah: Secara psikologis, Rupiah dinilai lemah karena nominalnya yang terlalu besar. Mengubah USD1 = Rp16.700 menjadi USD1 = Rp16,7 akan meningkatkan citra dan "gengsi" di mata internasional, seiring dengan negara-negara maju. 
  3. Kemudahan Bertransaksi: Memudahkan masyarakat dalam bertransaksi sehari-hari dan menghitung nilai uang tanpa harus berurusan dengan banyak angka nol, baik secara tunai maupun digital. 
  4. Menjaga Daya Beli: Kebijakan ini bertujuan menjaga kesinambungan ekonomi dan stabilitas nilai rupiah dengan memastikan tidak ada penurunan nilai riil uang yang dimiliki masyarakat (ANTARA News, 2025).

Redenominasi adalah langkah strategis jangka panjang yang didorong oleh kebutuhan modernisasi sistem keuangan, bukan krisis ekonomi mendesak.

Meskipun tujuannya baik, kebijakan ini membawa risiko besar, yang menjadi sorotan kritis Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ekonom. Fakta risiko utamanya adalah potensi inflasi akibat pembulatan harga (rounding up). Misalnya, harga barang Rp1.200 secara matematis menjadi Rp1,20 setelah redenominasi. Namun, pedagang cenderung membulatkan ke atas (misalnya menjadi Rp2) dengan alasan efisiensi pecahan, yang secara akumulatif dapat memicu lonjakan harga di tingkat konsumen (Kompas.com, 2025).

Pelajaran dari negara lain sangat relevan di sini: 

  • Keberhasilan Turki (2005): Turki berhasil meredenominasi mata uang Lira mereka dengan menghilangkan enam angka nol. Kunci suksesnya adalah persiapan matang, sosialisasi intensif, dan kondisi ekonomi makro yang relatif stabil dengan inflasi yang terkendali pada saat itu. 
  • Kegagalan Zimbabwe (2009): Sebaliknya, Zimbabwe adalah contoh tragis kegagalan redenominasi berulang kali. Upaya mereka meredenominasi Dolar Zimbabwe dengan menghilangkan belasan nol selalu gagal total karena dilakukan di tengah kondisi hiperinflasi yang tidak terkendali, sehingga mata uang baru segera kehilangan nilai (World Bank Data, 2009; The Guardian, 2009). 

Selain itu, ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, mengingatkan bahwa proses implementasi total, termasuk sosialisasi dan penarikan uang lama, dapat memakan waktu 8 hingga 10 tahun, jauh melampaui target penyelesaian RUU 2027 (Kompas.com, 2025).

Di tengah perdebatan ini, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa stabilitas nilai tukar Rupiah harus diprioritaskan sebelum melangkah ke redenominasi. Meskipun RUU Redenominasi diinisiasi oleh pemerintah, BI adalah otoritas moneter yang bertanggung jawab penuh atas waktu pelaksanaan. BI akan terus fokus menjaga agar nilai tukar Rupiah stabil dan inflasi terkendali selama proses legislasi berlangsung. Ini merupakan isyarat yang jelas bahwa RUU 2027 adalah fondasi hukum, sementara implementasi riil mungkin baru terjadi pada periode 2030-an, setelah seluruh prasyarat ekonomi dan sosial-politik terpenuhi.

Kesimpulannya, isu redenominasi rupiah adalah cerminan dari langkah maju legislasi pemerintah untuk modernisasi sistem mata uang, bukan sinyal implementasi instan. Fakta statistik menunjukkan target RUU selesai 2027, tetapi analisis risiko moneter menuntut persiapan yang jauh lebih panjang (8-10 tahun) untuk menghindari lonjakan inflasi, dengan pelajaran dari Turki dan Zimbabwe sebagai pedoman. Saran kritisnya adalah agar Pemerintah dan BI menggunakan periode 2025-2027 untuk melakukan sosialisasi masif yang edukatif—membedakan secara jelas Redenominasi dari Sanering—dan memprioritaskan stabilitas makroekonomi sebagai prasyarat utama sebelum mengambil risiko perubahan nominal yang masif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar terbaik atau pertanyaan untuk artikel di atas dan tetap setia mengunjungi "Guntara.com" dengan alamat www.guntara.com terimakasih!