Tragedi di Tengah Ilmu: Menguak Kegagalan Konstruksi Ponpes Al Khoziny dan Urgensi Audit Keamanan Fasilitas Pendidikan - Guntara.com

Kamis, 16 Oktober 2025

Tragedi di Tengah Ilmu: Menguak Kegagalan Konstruksi Ponpes Al Khoziny dan Urgensi Audit Keamanan Fasilitas Pendidikan

Tragedi robohnya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, yang terjadi pada saat para santri tengah melaksanakan salat, merupakan pukulan telak bagi sektor pendidikan keagamaan dan menjadi cerminan nyata kelemahan pengawasan dan kepatuhan standar konstruksi di Indonesia. Peristiwa nahas pada Senin sore, 29 September 2025, ini segera dikategorikan oleh BNPB sebagai bencana non-alam dengan jumlah korban jiwa terbanyak di tahun tersebut (BNPB, 2025). Sumber-sumber resmi, termasuk Basarnas, pakar teknik sipil, dan laporan media, sepakat bahwa penyebab utama insiden ini adalah kegagalan struktural total yang dipicu oleh proses pembangunan yang tidak sesuai standar teknis. Analisis terhadap insiden ini harus menjadi titik balik bagi pemerintah dan pengelola yayasan untuk memprioritaskan keamanan struktural di lingkungan yang rentan.

Tragedi Ponpes Al Khoziny www.guntara.com
Tragedi Ponpes Al Khoziny

Dalam tragedi robohnya bangunan Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo, total 170 korban berhasil dievakuasi oleh tim gabungan. Dari jumlah tersebut, puluhan santri dilaporkan mengalami luka-luka serius dan membutuhkan perawatan medis. Data korban meninggal dunia yang teridentifikasi mencapai 67 jenazah. Insiden ini dikategorikan sebagai bencana non-alam dengan korban jiwa terbanyak oleh BNPB pada tahun kejadian. Investigasi awal juga mengindikasikan bahwa bangunan tersebut diduga kuat dibangun tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang valid, yang merupakan pelanggaran fundamental terhadap standar konstruksi dan pengawasan teknis.


Pemicu Bencana: Ketidakmampuan Struktur Menahan Beban Pengecoran

Fakta-fakta di lapangan mengarah pada satu kesimpulan: bangunan musala empat lantai tersebut ambruk secara progresif (pancake collapse) karena struktur penyangga—terutama tiang pondasi dan bekisting cor—tidak mampu menahan beban pengecoran akhir di bagian dek paling atas (Radar Sidoarjo, 2025). Pengasuh Ponpes Al Khoziny sendiri membenarkan bahwa insiden terjadi saat pengecoran terakhir sedang berlangsung, dan menduga penopang cor tidak kuat, menyebabkan jebol dan ambruk ke bawah (Sindonews, 2025). Pakar teknik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang turut menganalisis lokasi setuju bahwa bangunan mengalami kegagalan konstruksi secara menyeluruh. Hal ini diperparah oleh dugaan bahwa bangunan yang awalnya hanya direncanakan satu lantai, kemudian diperluas menjadi tiga lantai dengan tambahan dek, menyebabkan beban yang ditanggung melebihi kapasitas desain awal (detikJatim, 2025).


Kegagalan Multi-Aspek: Dari IMB hingga Kelalaian Pelaksana

Tragedi ini menyingkap serangkaian kegagalan multi-aspek dalam rantai konstruksi. Pertama dan yang paling mendasar adalah isu perizinan. Banyak laporan menyebutkan bahwa bangunan musala tersebut diduga tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau kini dikenal sebagai Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang valid. Kurangnya IMB berarti pembangunan tidak melalui proses perencanaan dan pengawasan teknis yang diwajibkan oleh undang-undang, menjamin bahwa desain tidak mempertimbangkan faktor keselamatan (engineering structure). Kedua, kelalaian operasional. Proses belajar mengajar tetap berlangsung di lantai bawah, yang saat itu difungsikan sebagai musala, sementara aktivitas pengecoran yang berisiko tinggi dilakukan di lantai atas. Laporan Basarnas menunjukkan bahwa total korban yang dievakuasi mencapai 102 orang, dengan rincian yang sebagian besar terluka dan puluhan lainnya meninggal dunia, menyoroti risiko fatal dari melanjutkan kegiatan di bawah zona konstruksi yang tidak stabil (Tempo, 2025).


Urgensi Audit dan Standarisasi Bangunan Pesantren

Peristiwa Al Khoziny secara tegas menunjukkan perlunya intervensi negara yang masif dan segera terhadap keamanan infrastruktur pendidikan keagamaan. Wakil Gubernur Jawa Timur, menanggapi tragedi ini, menjanjikan audit komprehensif terhadap seluruh 129 pesantren di Sidoarjo untuk memastikan kepatuhan standar keselamatan. Secara nasional, pemerintah melalui Kementerian Agama dituntut untuk memperkuat pengawasan dan memastikan bahwa pembangunan di lingkungan pesantren—yang seringkali bersifat swadaya atau mandiri—tetap memenuhi standar teknis yang ketat (Guntara, 2024). Faktanya, berdasarkan data yang sering diungkap media, mayoritas pesantren di Indonesia disinyalir belum mengantongi izin PBG, menandakan bahwa sekitar 70-80% bangunan pesantren di Indonesia berpotensi berada di bawah pengawasan teknis minimal.


Langkah Konkret untuk Menjamin Keselamatan Santri

Solusi konkret pasca-tragedi ini harus mencakup tiga pilar utama. Pertama, Pemberian Asistensi Teknis Gratis dan Wajib. Pemerintah harus memfasilitasi audit struktural dan konsultasi perencanaan teknis secara gratis bagi semua yayasan pendidikan non-profit, khususnya pesantren. Kedua, Penegakan Hukum Tegas. Penyidikan terhadap kasus Al Khoziny oleh penyidik Ditreskrim Polda Jawa Timur yang menerapkan pasal terkait kelalaian yang mengakibatkan kematian (Pasal 359 dan 360) harus diselesaikan secara transparan untuk memberikan efek jera (YouTube, 2025). Ketiga, Edukasi Risiko dan Keterlibatan Ahli. Pengelola yayasan harus didorong untuk selalu melibatkan ahli teknik sipil bersertifikat sejak tahap perencanaan, bukan hanya sebagai formalitas. Tragedi Al Khoziny adalah peringatan nyata bahwa menganggap keselamatan sebagai "takdir" tanpa didahului oleh mitigasi yang berbasis ilmu pengetahuan adalah sebuah kelalaian yang berakibat fatal.


Tragedi Ponpes Al Khoziny adalah epitome dari krisis pengawasan konstruksi di Indonesia yang menuntut respons lebih dari sekadar belasungkawa. Mengandalkan pembangunan swadaya tanpa audit teknis yang ketat adalah praktik built-in disaster. Oleh karena itu, solusi krusialnya terletak pada implementasi regulasi IMB/PBG secara non-diskriminatif dan wajib, diikuti dengan audit struktural periodik yang difasilitasi oleh pemerintah daerah, khususnya untuk bangunan yang rentan seperti fasilitas pendidikan dan ibadah. Insiden tragis ini harus menjadi lever untuk mendesak investasi serius dalam edukasi teknik sipil bagi pelaksana di lapangan, memastikan bahwa keselamatan struktural bukan lagi kemewahan, melainkan standar minimum dan hak dasar bagi setiap santri dan warga negara. Kegagalan konstruksi adalah kegagalan sistem, dan hanya dengan reformasi menyeluruh serta pengawasan berbasis keilmuan, kita dapat mengubah duka menjadi benteng pertahanan bagi masa depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar terbaik atau pertanyaan untuk artikel di atas dan tetap setia mengunjungi "Guntara.com" dengan alamat www.guntara.com terimakasih!