Inilah Rektor Pertama UGM dan Kiprahnya: Prof. Dr. dr. M. Sardjito - Guntara.com

Saturday 2 August 2014

Inilah Rektor Pertama UGM dan Kiprahnya: Prof. Dr. dr. M. Sardjito

Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sebagai salah satu universitas terbaik dan terpopuler di Indonesia dalam roda kehidupannya tidak bisa lepas dari sejarah yang teramat panjang dan membanggakan bagi bangsa Indonesia. Prof. Dr. dr. M. Sardjito, MPH. adalah rektor pertama Universitas Gadjah Mada dan pendiri RSUP Dr Sardjito. Meski sudah meninggal sejak 5 Mei 1970, tetapi hasil karyanya berupa obat batu ginjal yang terkenal dengan Calcusol hingga kini masih menyumbang negara dan bangsa Rp 40 juta per bulan.
Rektor Pertama UGM, Prof. Dr. dr. M. Sardjito
Selama hidupnya, Prof Sardjito hidup dalam kesederhanaan, melayani pasien dengan tulus ikhlas, hati lembut, menghormat, sederhana, bijaksana dan cerdas. Prof Sardjito yang lahir tanggal 13 Agustus 1889 di Desa Purwadadi, Magetan, mempunyai jiwa pengabdian yang tidak memikirkan untuk diri sendiri, melainkan untuk keilmuan, masyarakat, negara dan bangsa. ''Sifat keteladanan itulah yang perlu kita contoh,'' ungkap Prof Sutaryo yang mengaku cucu murid Prof Sardjito.

Karyanya yang paling monumental dan tidak bisa dipungkiri adalah Rumah Sakit Sardjito dan Universitas Gadjah Mada. Karena itu sangat pantas bila UGM dan RSUP Dr Sardjito mengusulkan Prof Sardjito menjadi pahlawan nasional. Selama ini pihak perguruan tinggi UGM, RSUP Dr Sardjito, maupun Pemda DIY lupa dan barangkali tak tahu bahwa Prof Dr Sardjito belum diusulkan sebagai pahlawan nasional.''Saya juga baru sadar dua minggu ini setelah membaca buku pahlawan nasional. Ternyata nama Prof Dr Sardjito kok belum ada,'' kata Prof Sutaryo.

Anggota Kagama (Keluarga Gadjah Mada) yang diusulkan oleh UGM sebagai pahlawan nasional baru Prof Dr Sardjito. Sedangkan tujuh anggota Kagama yang telah mendapat gelar pahlawan nasional justru diusulkan bukan dari UGM. Dia memberi contoh Prof. Ir. Herman Johanes yang diusulkan masyarakat Nusa Tenggara Timur; Prof. Dr. Suharso yang diusulkan dari Boyolali karena dia dilahirkan di sana; dan Prof. Dr. Abdurrachman Saleh yang diusulkan Angkatan Udara RI.

Biografi Singkat Prof. Sardjito

Prof. Dr. dr. Sardjito lahir pada 13 agustus 1889 di desa purwodadi, kawedanan, mageran, wilayah kerasidenan madiun. Sulung dari lima bersaudara ini memiliki ayah yang berprofesi sebagai guru. Sardjito mengawali jenjang pendidikanya pada usia 6 tahun (1895) , beliau mulai belajar mengaji sekaligus menjalankan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) di desanya. Pada tahun 1901 Sardjito menyelesaikan pendidikan dasarnya di lumajang. Setelah lulus SR, tidak jelas di sekolah apa Sardjito melanjutkan mendidikannya sampai 1907, apakah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan kemudian AMS (Algemene Middelbare School). Sejak tahun 1907 Sardjito melanjutkan jejang pendidikannya ke pendidikan tinggi kedokteran di STOVIA (School toot Opleiding voor Indische Artsen) serta meraih gelar dokter dengan predikat sebagai lulusan terbaik di tahun 1915.

Tanggal 20 mei tahun 1908, dengan dimotori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo organisasi Boedi Oetomo didirikan. Sejak didirikannya organisasi itu, Sardjito masuk menjadi anggota karena ketertatikan pada bidang pendidikan sambil belajar berpolitik dalam organisasi. Masuknya Sardjito kedalam anggota Boedi Oetomo menjadi cikal bakal Sardjito memiliki jiwa nasionalisme. Walaupun telah menjadi anggota Boedi Oetomo, Sardjito tidak meninggalkan begitu saja tekatnya untuk berkecimpung di dunia kesehatan. Setelah lulus dari STOVIA, Sardjito bekerja di rumah sakit di Jakarta sebagai dokter selama setahun kemudian pindah di Institut Pasteur, Jakarta sebagai dokter juga sampai tahun 1920. Tetapi menjadi dokter saja tak cukup bagi Sardjito. Beliau mengembangkan ilmu kedokterannya dengan sebuah penelitian. Penelitian pertamanya adalah tentang penyakit influenza.

Pada tahun 1922, Sardjito memperdalam ilmunya di fakultas kedokteran universitas Amsterdam. Setahun kemudian, Sardjito belajar lebih intens lagi tentang penyaki-penyakit tropis, karena hal ini, Sardjito harus pindah ke universitas leiden yang letaknya tidak jauh dari Amsterdam. Di universitas leiden, Sardjito memperoleh gelar doctor pada tahun 1923. Setelah memperoleh gelar Doctor, Sardjito pergi ke amerika serikat untuk mengukuti kursus hygiene di Baltimore, Maryland. Disinilah, Sardjito memperoleh gelar M.P.H. dari John Hopkins University. Sepulang dari amerika, Sardjito mendapat kepercayaan untuk menjadi dokter laboraturium pusat Jakarta pada tahun 1924. Setahun setelahnya, Sardjito dipercaya untuk menjadi ketua boedi oetomo cabang Jakarta. Pada akhir masa jabatannya di laboraturium pusat Jakarta (1929), dia merangkap jabatan sebagai asisten kepala sekolah tinggi kedokteran di Jakarta. Dari Jakarta, Sardjito pindah ke makasar untuk memegang jabatan kepala laboraturium makasar pada tahun 1930.

Kesempatan kedua datang bagi Sardjito untuk pergi ke luar negeri pada tahun 1931. Kali ini Sardjito pergi ke berlin, jerman untuk memperdalam pengetahuannya tentang laboraturium. Sepulang dari jerman, Sardjito kembali mengepalai sebuah laboraturium, kali ini laboraturium di Semarang selama 13 tahun sampai tahun 1945. Selama di Semarang ini pula, Sardjito membantu mengadakan penelitian tentang penyakit lepra di Indonesia selama sepuluh tahun. Di saat yang sama, Sardjito harus membagi tugasnya untuk memegang jabatan sebagai pemimpin redaksi Medische Bricthen (berita ketabiban), sebagai Kedua Mardi Walujo Semarang serta ketua Izi Hokokai Semarang dan anggota pusat.

Karier Sardjito terus menanjak, ketika diamanahkan untuk menjadi rektor pertama UGM yang ketika itu disebut Presiden Universiteit Negeri Gajah Mada pada tahun 1949. Pemegang penghargaan Bintang Mahaputera Tingkat III tahun 1960 ini, menjabat sebagai rektor UGM selama 12 tahun 9 bulan. Selesai menjabat sebagai rektor UGM, Sardjito terpilih sebagai rektor UII menggantikan Kasmat Bahuwinangun pada tahun 1963. Pada saat di pimpim oleh Sardjito, UII membuka cabangnya di daerah diantaranya Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Tarbiyah di Gorontalo, Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi di cabang Cirebon, Fakultas Hukum dan Fakultas Syariah di Madiun, Fakultas Syariah di Bangil dan Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi di Klaten.

Mantan rektor UGM ini, ternyata membawa peranan untuk menjalin kerjasama antara UGM dan UII. Pada masa kepemimpinannya tewujudlah kerja sama andata UGM dan UII dengan di tandatanganinya piagam kerjasama pada tanggal 23 mei 1967 oleh rektor UII, Prof. Dr. dr. Sardjito dan rektor UGM drg. Nazir alwi yang berisi.
  1. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, UGM bersedia membimbing UII dalam hal-hal yang diperlukan
  2. Dalam bidang penelitian, UGM bersedia membimbing UII akan hal-hal yang diperlukannya dan biasa yang berhubungan dengan keperluan tersebut akan di tanggung oleh UII.
Pada masa kepimpinan Sardjito pula UII mendirikan Organisasi Pers Mahasiswa UII pada tanggal 11 maret 1967. Sardjito mendukung penuh akan berdirinya Organisasi Pers mahasiswa UII. Hal ini ditandai dengan kata sambutan menjelang kehadiran majalah pertama Organisasi Pers Mahasiswa UII yaitu majalah Muhibbah.

Sardjito wafat ketika masih menjabat sebagai rektor UII pada tanggal 5 mei 1970. Wafatnya Sardjito yang secara mendadak sempat membuat UII kesulitan untuk mencari seorang figur yang mampu menggantikan sosok Sardjito. Saat ini nama Prof. Dr. dr. Sardjito, M.D., M.P.H., diabadikan sebagai salah satu nama Gedung Kuliah Umum (GKU) yang berada di kampus terpadu Universitas Islam Indonesia serta nama Rumah Sakit yang berada di Yogyakarta.

sumber:
  1. Blogspot
  2. Republika

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar terbaik atau pertanyaan untuk artikel di atas dan tetap setia mengunjungi "Guntara.com" dengan alamat www.guntara.com terimakasih!