Inilah Prof. Koesnadi Hardja Soemantri, Sang Pencetus Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) - Guntara.com

Saturday 2 August 2014

Inilah Prof. Koesnadi Hardja Soemantri, Sang Pencetus Program Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bagi mahasiswa saat ini masih diberlakukan di berbagai universitas. Bahkan sebagian besar universitas di Indonesia menerapkan KKN sebagai salah satu syarat kelulusan untuk meraih gelar sarjana. Namum tidak semua orang mengetahui bahwa penggagas program itu adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri. Sayangnya, Sang Penggagas KKN tersebut telah tiada, kecelakaan pesawat Garuda Indonesia GA-200 di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada Rabu, 7 Maret 2007 lalu telah merenggut nyawanya.
Prof. Koesnadi, Sang Pencetus KKN di Indonesia
Program KKN bagi mahasiswa dicanangkan dan dikembangkan Prof Koesnadi saat menjabat Kepala Direktorat Pendidikan Tinggi sekitar 1980-an. Program itu bertujuan untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa sekaligus memberikan manfaat bagi pembangunan masyarakat pedesaan.

Selain itu, juga dimaksudkan untuk mengembangkan perguruan tinggi agar lebih tanggap terhadap perkembangan masyarakat pedesaan. Seiring pergantian tahun, program KKN menjadi sangat populer di kalangan masyarakat luas. Namun, Prof Koesnadi merasa sedih, karena istilah KKN malah digunakan untuk arti yang berbeda, yakni Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. 

Sejak tahun 1951 UGM mengerahkan mahasiswa ke luar Jawa sebagai guru yang mengajar pada Sekolah Lanjutan Atas. Kegiatan ini disebut Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang merupakan bentuk pertama dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kegiatan tersebut terhenti tahun 1962 karena masalah keuangan negara saat itu. Pada tahun 1971 diselenggarakan KKN yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH dan KKN tersebut dipertahankan sebagai program wajib bagi mahasiswa UGM hingga sekarang.

Program KKN mengalami perkembangan sebagai akibat dari kondisi dinamika masyarakat. Pada tahun 1994 UGM menyelenggarakan Program KKN Alternatif Pemantau Pemilu (KKN APP). Selanjutya sebagai respon dari kondisi krisis di Indonesia pada tahun 1998 mulai diselenggarakn Program KKN dengan mengangkat tema-tema tertentu, sehingga Program KKN disebut KKN Tematik. Mulai tahun 2006 Program KKN disebut Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM).

Program KKN-PPM merupakan respon UGM terhadap kuatnya tekanan globalisasi pada lapisan masyarakat di Indonesia. Perubahan KKN menjadi KKN-PPM ditandai dengan adanya perubahan paradigma, yaitu paradigma pembangunan menjadi pemberdayaan, sehingga pelaksanaan Program KKN-PPM menjadi lebih kontekstual. Dengan ini diharapkan agar Mahasiswa mampu menjadi pemimpin sejati, yaitu pemimpin yang memiliki empati dan dan peduli terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Semasa menjabat Rektor UGM periode 1985-1990, Prof Koesnadi termasuk sosok yang dikenal dekat dengan mahasiswa. Pria kelahiran Tasikmalaya, 9 Desember 1926 itu berupaya menciptakan iklim keterbukaan dalam kampus. Keterbukaan, kesamaan, dan kemitraan adalah pedoman yang digunakan bapak dua puteri itu untuk membangun hubungan dan kerjasama di antara warga UGM dan pihak luar. Penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama itu menghargai mahasiswa sebagai intelektal muda, bukan sekedar calon intelektual. Menurut Prof Koesnadi, mahasiswa harus mampu menginternalisasikan cara berpikir alternatif, karena masalah selalu berubah sesuai dengan waktu dan tempat, serta membutuhkan pemecahan yang tidak selalu sama.

Kontribusi yang ia berikan tidak sebatas itu saja. Sebelum menjadi rektor, ia menjabat sebagai Sekretaris Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH). Maka suami dari Rahajoe (almarhumah, mantan atase pendidikan dan kebudayaan RI di Den Haag, Negeri Belanda) dan ayah dari dua anak ini pun selalu dipercaya menjadi Staf Ahli di Kementerian Lingkungan Hidup, siapa pun menterinya. Di samping itu, ia juga tetap aktif mengajar di UGM dan beberapa universitas lainnya.

Karakter pahlawan yang ia miliki ini terbentuk semenjak kecil. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan R. Gaos Hardjasoemantri dengan R.H.E. Basriah. Ia dibesarkan di keluarga dengan latar belakang Pengreh Praja, sebuah jajaran elit keluarga pada strata kolonialisme. Pemikiran feodal sangat mungkin membentuk pemikirannya, tetapi itu tidak terjadi. Hidup di empat fase perkembangan Indonesia, yaitu masa penjajahan, masa kemerdekaan awal atau masa Orde Lama, masa Orde Baru dan juga masa reformasi saat ini menjadikan Koesnadi memiliki karakter kepahlawanan. Prof. Koesnadi Hardjasoemantri selalu bisa mengambil momentum kepahlawanan di setiap fase hidupnya.

Diawali dari kehidupan masa kecil yang dihabiskan di keluarga pada strata kolonialisme yang kental dengan feodalisme. Ia bukannya memiliki sifat feodal, tetapi sebaliknya sangat peka dengan kondisi rakyat. Hal ini menjadi salah satu latar belakang Koesnadi bergabung dalam polisi tentara Resimen IV Divisi Siliwangi sebagai Sersan Mayor pada tahun 1946-1947. Pada tahun 1947, ia menjadi ketua organisasi Staatkoerler yang kedudukannya langsung berada di bawah Perdana Menteri. Koesnadi pernah pula masuk sebagai Tentara Pelajar Batalyon 500 sebagai Kepala Staf I dari tahun 1947-1948 yang berkedudukan di Banjarnegara. Berkat jasa-jasanya ini, Koesnadi menerima Bintang Gerilya pada tahun 1958 dari Presiden RI. Pada tahun yang sama ia memeroleh pula Bintang Satyalaksana PK I dan Satyalaksana II dari RI, juga Bintang Mahaputra pada tahun 2002.

Selama proses menjadi polisi tentara ia merasakan adanya kecintaan yang luar biasa terhadap rakyat. “Kecintaan saya pada rakyat tidak main-main, semua karena pengalaman saya sewaktu hidup, makan, tidur bersama rakyat dalam revolusi fisik. Merekalah gerilyawan yang sesungguhnya,” ungkap Koesnadi pada sebuah wawancara sebelum ia meninggal. Kecintaan inilah yang melatarbelakangi tercetusnya gagasan KKN yang saat ini masih berjalan.

Tak berhenti di masa SMA, ia tetap mengambil momentum kepahlawanannya di masa kuliah. Ia juga aktif dalam organisasi kepemudaan. Pada tahun 1948-1950 ia terlibat sebagai Ketua Konsulat daerah pendudukan pada organisasi mobilisasi pelajar. Pada tahun 1950-1958 menjadi anggota Pengurus Besar Intitusi Pengkaderan Profesi Indonesia (IPPI) di Yogyakarta. Semasa menjadi mahasiswa, Koesnadi telah aktif sebagai aktivis yang membela kepentingan mahasiswa. Pada tahun 1950-1951 ia menjabat sebagai Sekretaris Dewan Mahasiswa (Dema) UGM dan merangkap sebagai Ketua Badan Pekerja Dema dari tahun 1950-1952. Ia pernah aktif pula sebagai anggota pengurus pusat Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia dari tahun 1955-1958 yang pada waktu itu ketuanya adalah T. Jacob. Ia bergabung pula dalam Badan Kerja Sama Kesenian Mahasiswa Indonesia sebagai Ketua Umum Badan Pekerja dari tahun 1969-1964.

Semasa menjabat Ketua Dewan Mahasiswa, Koesnadi mengusulkan proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), untuk tugas mengajar di luar Jawa. Koesnadi mengajukan dirinya sebagai perintis. Ia pun dengan senang hati ditugasi di Kupang, 1951. Sepulang dari Kupang, ia ditugasi mengurus proyek PTM sampai 1957 dan berhasil mengirimkan 1.400 mahasiswa untuk mengajar di 161 SLTA di seluruh Indonesia.

Dari kisah hidup Koesnadi kemudian kita mendapati bahwa karakter kepahlawanan tidaklah terbentuk secara instan. Karakter kepahlawanan Prof. Koesnadi muncul dari keresahan terhadap sekitar kemudian keresahan itu menjelma menjadi kepedulian. Kepedulian itu terejawantahkan menjadi amal kebermanfaatan bagi sekitar sesuai dengan keahliannya. Pelajaran lain yang dapat diambil adalah kemurnian alasan dalam mengambil momentum kepahlawanan. Ia mencontohkan bahwa kecintaan pada kebenaran dan keinginan menghentikan kezholiman sebagai landasan dalam mengambil momentum kepahlawanan.

sumber:
  1. AntaraNews
  2. Wordpress

No comments:

Post a Comment

Berikan komentar terbaik atau pertanyaan untuk artikel di atas dan tetap setia mengunjungi "Guntara.com" dengan alamat www.guntara.com terimakasih!