Bukan Muhammadiyah kalau masih alami keraguan. Kalimat tersebut sangat
cocok jika dikaitkan dengan situasi sekarang, ketika pemerintah
(kembali) lakukan permulaan Ramadan yang kemungkinan berbeda dari
Muhammadiyah melalui Sidang Itsbat. Berbeda sebenarnya tidak menjadi
masalah, karena perbedaan itu adalah rahmat. Namun kalau kemudian yang
berbeda memaksa untuk sama dengan alasan taat, ini pasti akan
menimbulkan masalah bagi umat. Yang perlu digarisbawahi barangkali,
Sidang Itsbat ini lebih erat kaitannya pada kepentingan para pejabat,
meski mengorbankan banyak keinginan umat.
Tanpa disadari, Sidang
Itsbat yang dilakukan pemerintah, sebenarnya gambaran ketidakpastian
dan ketidakkonsistenan kebijakan pejabat kita, sehingga bukan manfaat
yang didapat, melainkan keraguan. Nah, sekali-sekali ragu, mungkin
wajar. Namun apabila setiap tahun diciptakan keraguan, itu konyol
namanya. Begitu pula ketika penentuan awal/akhir Ramadan menimbulkan
ketidakpastian masyarakat, maka keraguan permanen pun akhirnya menjadi
efek keraguan sistemik di lingkungan kehidupan masyarakat. Baik keraguan
saat menjelang Ramadan, maupun saat akan meninggalkannya, bahkan usai
meninggalkannya pun, efek dari sisa-sia keraguan itu masih melekat,
hingga tahun berikutnya.
Tidak seperti gaya ragu pemerintah,
penetapan Kalender Islam, khususnya terkait Ramadan, bukanlah hal baru
bagi ormas Islam. Bahkan kelompok-kelompok atau aliran Tareqat
Naqsabandiyah di Padang misalnya, sudah lakukan salat tarawih dua hari
sebelum pemerintah umumkan keputusannya. Mereka berani melakukan salat
tarawih lebih awal, karena keyakinan mereka yang mantap tanpa ragu.
Hanya mengingatkan, ibadah tentunya tidak patut jika kemudian disamakan
dengan persoalan demokrasi atau plurasisme lain yang bisa diseret-seret
pada isu-isu kebersamaan, persatuan, dan penyeragaman.
Begitu
juga Muhammadiyah. Secara rinci dan jelas Muhammadiyah jauh-jauh hari
telah mengumumkan ketegasannya dalam mengamalkan ibadah Ramadhan. Baik
itu cara mempersiapkan, cara menjalani, cara mengamalkan, dan cara
mengakhirinya. Bahkan, Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, telah umumkan
pula kapan Idul Fitri 1 Syawal, 1 Dzulhijjah, Hari Arafah 9 Dzulhijjah,
dan Idul Adha 1433 H. Perhitungan Muhammadiyah yang sudah mengadopsi
ilmu Hisab modern, jelas tanpa kesulitan dapat menentukan hari-hari
penting tersebut tanpa menimbulkan keraguan umat umumnya, dan warga
Muhammadiyah sendiri. Hal ini tentu menunjukkan kekonsistenan misi
Muhammadiyah dalam rangka mencerahkan umat, dan dalam rangka menempatkan
Ramadhan sebagai salah satu bulan ladang ibadah tanpa perlu menyulitkan
warganya.
Bagi organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan 1 abad
silam, penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 9 Dzulhijjah, maupun Idul Adha,
realitasnya tidak sesulit saat membuat kalender tahunan, maupun saat
membuat daftar jadwal shalat 5 waktu yang dijalankan oleh umat Islam
secara rutin. Apalagi pada jaman internet dan satelit seperti sekarang
ini, jelas tidak akan disia-siakan kemanfaatannya, sehingga tidak akan
membuat Muhammadiyah alami penyakit akut berupa ketertinggalan ilmu dan
keusangan cara berpikir maupun cara menemukan solusi. Sejak KH Ahmad
Dahlan muda, Muhammadiyah telah manfaatkan semangat modernitas dan
cara-cara terbaik menuntun umat, dalam rangka ibadah maupun interaksi
sosial, tanpa melupakan ayat Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW.
Oleh
karenanya, ketika Muhammadiyah mengumumkan keputusan 1 Ramadhan 1433
H/2012 M jatuh pada 20 Juli 2012, ini mengandung arti bahwa Muhammadiyah
tidak bisa disebut berbeda dengan pemerintah. Justru kebalikannya -
seperti yang belum lama ini diungkapkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah,
Dr H Agung Danarto, M.Ag - justru pemerintahlah yang berbeda dengan
Muhammadiyah. Karena konsistensi dan kemantapannya, Muhammadiyah telah
jalankan misinya tanpa harus memaksa pihak lain untuk ikut bersama-sama
Muhammadiyah.
Dengan cara ini, umat Islam tidak perlu ramai-ramai
pergi ke pantai atau pucuk gunung. Masyarakat tidak perlu lari-lari ke
atau pencakar langit, atau malah adakan begadang saat subuh hanya untuk
melihat hilal yang tentu sangat sulit jika terhalang kabut atau ada asap
kapal di pantai dan seterusnya. Yang kita lupakan, halangan-halangan
terhadap hilal, sebenarnya sangat mudah ditembus dengan perhitungan,
karena pada dasarnya hilal itu ada. Hanya manusialah yang pada masa
lalu, belum memiliki cara hitung yang canggih seperti sekarang.
Dengan
metode yang dipakai Muhammadiyah, masyarakat tak perlu menduga-duga
seputar sosok-sosok petugas pengintip hilal. Masyarakat tidak perlu
berpikiran negatif, misalnya nilai ketaatan petugas, nilai kesehatan
petugas, atau bahkan keikhlasan petugas saat bekerja. Umat Islam juga
tidak lagi mendengar adanya sumpah atas kesaksian-kesaksian petugas di
pantai. Tidak ada lagi gontok-gontokan akibat 2 (dua) petugas melihat
hilal, sementara belasan yang lain mengaku tidak melihat. Yang
berlebihan dan janggal adalah menentukan pola ibadah dengan melalui
metode demokrasi. Suara terbanyak. Penglihat terbanyak. Poin yang ingin
dicari kira-kira adanya hilal, terlihatnya hilal, atau pengakuan tidak
melihat hilal?
Hilal pasti ada. Terlihatnya belum tentu.
Mengapa? Karena terlihatnya hilal, tentu banyak hambatan seperti cuaca,
kondisi petugas penglihatnya, maupun alat yang digunakan. Namun kalau
ukurannya adalah pengakuan penglihat hilal, tampaknya akan menimbulkan
banyak keraguan dan tandatanya seperti yang saya tulis di atas. Apakah
cara ini bisa dijamin akurasi dan kejujurannya? Wallahua'lam bishawab.
Karena
banyaknya keraguan itu, saya jadi ingat penjelasan Ketua Majelis Tarjih
dan Majelis Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr Syamsul Anwar, MA. Semangat
Alquran dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan, sesungguhnya jelas,
yakni menggunakan perhitungan. Menggunakan hisab. Allah sendiri, sudah
menginformasikan pada umat Islam bahwa matahari dan bulan, beredar
menurut perhitungan.
Maka dari itu, meski matahari dan bulan
tertutup awan sekalipun, meski matahari dan bulan tak bisa dilihat
menggunakan teropong maupun alat elektronik lainnya pun, maka Allah
telah memberikan solusi dengan perhitungan itu. Matahari dan bulan,
tidak akan hilang dengan adanya awan yang menyelimutinya. Peredaran
keduanya, tidak akan berhenti hanya gara-gara manusia gagal
meneropongnya. Dan yang pasti, kerutinan gerak dua benda angkasa
tersebut, pasti tidak akan berubah hanya gara-gara sekelompok manusia
memutuskan bulan tidak terlihat saat Sidang Itsbat.
Ada hal lain
yang perlu dicermati bahwa, pelaksanaan Sidang Itsbat cenderung terbukti
sebagai bentuk intervensi pemerintah kepada persoalan umat Islam yang
seharusnya bebas menjalankan keyakinannya tanpa perlu dipaksa sama.
Intervensi semacam ini sangat berbahaya ketika pada saatnya, atas
pertimbangan tertentu, seluruh ibadah umat dijadikan komoditi politik,
sehingga bisa jadi suatu saat penentuan awal dan akhir Ramadhan, akan
digulirkan menjadi Undang-Undang agar semua bisa sama dengan keinginan
pemangku kebijakan. Makanya, intervensi yang terus menerus seperti saat
ini, sangat berpotensi melanggar konstitusi.
Sidang Itsbat yang
terjadi selama ini, juga lebih terkesan anti musyawarah, padahal
semangat Sidang Itsbat mestinya musyawarah untuk mufakat. Semestinya
Sidang Itsbat adalah forum yang saling menghargai dan menghormati
pendapat, serta pandangan yang lain dan berbeda dengan keinginan
pemerintah. Seperti Sidang Itsbat tahun lalu, yang masyarakat bisa
melihat langsung dari televisi. Kenyataannya, ormas yang dianggap
berbeda malah dicaci dan direndahkan, maka nilai sidang itu sebenarnya
otomatis hilang. Dalam sidang tersebut, pemerintah bisa saja
menghadirkan ahli-ahli atau pakar-pakar. Tentu saja, karena itu bukan
forum politik, semestinya harus membawa ghirrah (semangat) Islam, adil
dan tabayyun. Sayangnya, ahli yang diundang adalah ahli sesuai
keinginnan pemerintah. Akibatnya, apa yang keluar dari mulutnya,
bukanlah atas semangat Islam, melainkan semangat kaum pemarah. Tak heran
apabila ada kesan, sebenarnya Sidang Itsbat hanyalah forum basa-basi
untuk mengumumkan keputusan yang sudah dibuat sebelum sidang. Apabila
pemerintah mengumpulkan Ormas hanya untuk mendengarkan caci maki dan
pengumuman semata, maka apa urgensinya Sidang Itsbat?
Sungguh sebuah kehebatan apabila Umat Islam di Indonesia mau membuka Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan
tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni
kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh
hari”.
Sungguh sebuah kehebatan pula, apabila Umat Islam
berani belajar tanpa harus ketakutan untuk berbeda, hanya karena
pemerintah ingin umat bisa bersamanya. Rasulullah sendiri sudah
menginformasikan kondisi umat terdahulu dengan seperti itu, sangat lazim
apabila kemudian hari, Muhammadiyah lakukan Hisab, karena pada
esensinya, tanpa hisab, maka umat Islam tidak akan mampu membuat
Kalender Islam buat dirinya sendiri.
Tentu sangat ironi apabila,
hanya ingin shalat, ingin pergi haji, ingin berdoa, kita mesti secara
manual pergi ke gunung-gunung dan lari pantai hanya untuk memastikan
kapan tanggalnya. Wajar saja jika ahli dan penggagas Kalender Islam
Internasional, Prof. Dr. Nidhal Guessoum kemudian mengkritik Umat Islam
yang tidak segera berhasil menyusun kalendernya sendiri. Umat Islam
kalah dengan umat terdahulu yang sudah berhasil menyusun kalender untuk
ribuan tahun lamanya.
Sekali lagi, sebagai organisasi yang
memiliki tanggungjawab besar, Muhammadiyah telah tegas dan tanpa ragu
dengan keputusannya. Muhammadiyah telah ambil sikap yang tidak mungkin
berubah, hanya gara-gara keinginan pihak tertentu agar Muhammadiyah
mengalah dengan menaruh kebenaran di bawah tekanan kelompok yang tidak
mengerti. Maka keputusan Muhammadiyah tidak ikut Sidang Itsbat adalah
sebuah keputusan yang berdasar atas kepentingan umat, agar terjadi
kemaslahatan dan tidak menimbulkan ketegangan di lingkungan umat, dan
dengan itu, maka Muhammadiyah berusaha menjadi solusi atas banyaknya
suara atas keraguan yang ada. Langkah Muhammadiyah ini, tentu bukan
tanpa belajar dari tahun sebelumnya.
Pelaksanaan Sidang Itsbat,
bagi Muhammadiyah tidak lebih banyak manfaat dibanding mudharatnya,
sehingga ketidakikutsertaannya dianggap lebih baik bagi Muhammadiyah dan
masyarakat banyak, ketimbang dipaksakan ikut namun menimbulkan suasana
tidak sehat di kalangan masyarakat yang sebenarnya tidak ingin melihat
Muhammadiyah dan Ormas Islam yang lain, dan juga dengan Pemerintah,
terlibat keributan dalam sidang hanya gara-gara disebabkan tidak
bertemunya antara sikap-sikap dan pandangan konsisten dan kelompok
inkonsistensi saat rapat berlangsung.
Kenyataannya, shalat Jumat
dan shalat wajib yang rutin, tidak pernah menjadi persoalan serius
Pemerintah, maka semestinya penentuan tanggal Ramadhan juga tidak perlu
menjadikan persoalan serius Pemerintah, yang dapat berpotensi
menimbulkan ketegangan permanen dan keraguan setiap tahunnya. Kalau
hanya terkait pengaturan tanggal merah yang dipersoalkan, tentu tidak
perlu dikaitkan dengan perlu tidaknya seragam waktu Ramadhan maupun Idul
Fitri.
Maka dari itu, dalam himbauannya, Muhammadiyah
diantaranya hanya mengajak kepada warga Muhammadiyah untuk tetap
berpegang teguh pada hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Karena adanya potensi berbeda dengan pihak lain,
Muhammadiyah pun berharap agar warga Muhammadiyah memahami, menghargai
dan menghormati adanya perbedaan itu, serta menjunjung tinggi keutuhan,
kemaslahatan, ukhuwah dan toleransi, sesuai dengan keyakinan
masing-masing, disertai kearifan dan kedewasaan, serta menjauhkan diri
dari sifat yang mengarah pada hal-hal yang bisa merusak nilai ibadah itu
sendiri. Dihimbau pula kepada Umat Islam khususnya warga Muhammadiyah,
agar menjadikan Bulan Ramadhan ini sebagai bulan instrospeksi.
Karena
keistimewaan Ramadhan, Muhammadiyah juga menghimbau kepada seluruh
warga Muhammadiyah agar menyambut datangnya Ramadhan dengan rasa syukur
dan gembira, serta berusaha bersungguh-sungguh untuk menunaikan puasa
(shaum) sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Tujuannya tidak lain, agar
mendapatkan ridha dan karunia Allah SWT, dan dari ibadahnya itu, dapat
dipantulkan melalui amalan sehari-hari di tengah masyarakat.
Kepada warga yang belum Muhammadiyah, maka diharapkan bisa menjauhi
permusuhan maupun tindakan yang mengarah pada tumbuhnya benih-benih
konflik. Khusus untuk industri hiburan, baik melalui media cetak maupun
elektronik, dihimbau untuk mengedepankan nilai-nilai moral dan kebaikan.
Dihimbau pula agar tidak ada yang mencoba menjual komoditi pornografi
dan pornoaksi yang merusak akhlak dan tatanan bangsa, hanya demi meraih
keuntungan materi. Sikap positif itu diperlukan, guna menunjukkan
penghormatan terhadap hadirnya Ramadhan, sekaligus sebagai bentuk
pertanggungjawaban terhadap masa depan kehidupan bangsa.
Selamat Menjalankan Puasa!
oleh : Mustofa B Nahrawardaya (aktivis muda Muhammadiyah)
sumber : detik.com
rukyatul hilal itu warisan nabi, kalau memang tidak dapat melihat hilal ya baru lewat hisab,,,
ReplyDelete“Tapi ahli hisabnya NU pasti ahli rukyah. Saya juga perukyah, karena mata saya sudah begini, (kurang bisa melihat) jadi manager para perukyah,” tegasnya.
ReplyDeleteKiai Ghazali menjelaskan bahwa NU menggunakan metode rukyah yang berkualitas, didukung dengan ilmu hisab modern. “Kenapa kata “rukyah didahulukan? Karena dalam Al-Quran dan haditsnya begitu,” jelasnya.
“Orang selalu salah paham terhadap NU yang mengedepankan rukyah. Di zaman modern kok rukyah, bukan hisab. Itu kan tradisional. Orang seperti itu tidak tahu, justru NU itu gudangnya ahli hisab."
ReplyDeleteDemikian dinyatakan Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH A. Ghazali Masroeri di hadapan pengurus lajnah, banom, dan lembaga NU, serta para wartawan dari berbagai media, di gedung PBNU, (18/7) dengan tema Menyambut Ramadlan 1433 H.
source: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,38847-lang,id-c,warta-t,Ahli+Rukyah+NU++Pasti+Ahli+Hisab-.phpx
wah, saya kurang paham sama hal kayak gini, saya cuman orang awam sob, jadi lok salah yang tanggung yang buat keputusan...hehehe
ReplyDeleteterima kasih :-)
ReplyDeletesaya sangat menghargai komentar kalian
disini sekedar media berpendapat :-D