Budaya Indonesia tumbuh lewat lintasan sejarah yang panjang. Jika budaya diartikan sebagai tata keyakinan, pemikiran, perilaku ataupun produk yang dihasilkan secara bersama, maka budaya Indonesia dapat dikatakan mengalami relativitas. Artinya, budaya yang kini berkembang di Indonesia merupakan hasil percampuran dari aneka budaya berbeda. Hasil dari percampuran tersebut hingga kini masih berada dalam keadaan berubah secara konstan. Terdapat gelombang-gelombang pengaruh “luar” yang turut membentuk karakter budaya Indonesia.
sumber gambar: kotawisataindonesia.com |
Penggunaan istilah “pengaruh Hindu-Buddha” pun kiranya kurang tepat. Istilah ini sesungguhnya hendak memberikan gambaran beberapa pengaruh yang diberikan orang-orang India atau Cina yang datang dan melakukan kontak dengan penduduk kepulauan Indonesia. Kebetulan, orang-orang India dan Cina yang melakukan kontak-kontak tersebut mayoritas beragama Hindu dan Buddha. Di masa-masa awal ini, Islam belumlah lagi berdiri selaku sebuah agama secara formal.
Tulisan ini pun sengaja tidak bercorak historiografis yang ketat pada dimensi kronologis suatu peristiwa. Tulisan ini lebih condong pada identifikasi sejumlah komponen material dan nonmaterial budaya yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha. Komponen-komponen tersebut selain punya bentuk asli juga punya dimensi sinkretis hasil percampurannya dengan kebudayaan yang berkembang di Indonesia sebelumnya.
Pengaruh Hindu-Buddha bukan pada tataran agama belaka. Pengaruh tersebut meliputi baik bahasa, bangunan, teknologi, aksara, politik, ataupun sistem sosial. Kendati sekurangnya telah teridentifikasi pengaruh awalnya sejak tahun 400-an Masehi, pengaruh Hindu-Buddha tetap dapat diidentifikasi di kehidupan Indonesia kontemporer saat ini. Jill Forshee bahkan mencatat, sejak abad pertama Masehi telah tercatat kontak-kontak antara masyarakat asli Indonesia dengan India juga Cina. Kontak ini terutama melalui jalur hubungan laut.
Masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia
Koentjaraningrat mencatat, penduduk asli Indonesia telah mengembangkan sejumlah pranata sosial semisal “Negara.” Entitas Negara ini diantaranya dibuktikan dengan adanya prasasti Muara Kaman yang menunjukkan kerajaan Kutai dengan rajanya Kudungga. Orang-orang Indonesia ini kemudian melakukan kontak dengan para pedagang dari India. Selain di Kutai, juga berdiri kerajaan-kerajaan di Jawa Barat tepatnya di tepi sungai Cisadane, Bogor.
Koentjaraningrat juga beranggapan kerajaan-kerajaan tersebut sudah hidup makmur lewat kontak dagangnya dengan India Selatan. Raja-rajanya kemudian mengadaptasi konsep-konsep Hindu ke dalam struktur kerajaannya. Mereka mengundang para Brahmana India Selatan dari aliran Wisnu atau Brahma. Para pendeta tersebut memberi konsultasi dan nasehat mengenai struktur dan upacara-upacara keagamaan, termasuk pula bentuk Negara, organisasi Negara, dan upacara-ucapara kenegaraan menurut sistem yang berlaku di India Selatan. Ke-"jenius-lokal"-an orang-orang Indonesia ini ditunjukkan dengan kemampuan mereka mengadaptasi pola-pola sosial dan politik India ke dalam hidup kerajaan mereka.
Dari anggapan ini, maka sesungguhnya pengaruh Hindu tidak datang lewat penaklukan melainkan atas permintaan (influenced by demand). Jadi, orang-orang Indonesia ini justru mengundang oleh sebab keinginan mereka hendak maju dan membuka diri. Lewat cara “undangan” inilah, kesusasteraan Hindu dan agamanya masuk ke dalam Indonesia secara hampir taken for granted. Sayang, akibat masalah elitisme dan sistem kasta yang inheren di sistem kemasyarakatan Hindu di India, yang menerima pengaruh paling besar adalah lapisan atas kekuasaan dan masyarakat di sekitar istana. Mereka rata-rata memang secara sosiologis diuntungkan oleh pola kemasyarakatan tersebut. Masyarakat biasa hampir kurang merasa tersentuh oleh pengaruh ini.
Budaya Indonesia asli seperti “desa” yang egaliter perlahan berubah dengan masuknya konsep kenegaraan India Selatan yang hirarkis. Raja mulai dianggap sebagai turunan dewa. Namun, pengaruh hirarkis ini juga tidak dapat dipukul rata. Ia terutama diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan Indonesia yang ada di pedalaman dan mengandalkan pertanian dan penggunaan irigasi sebagai basis ekonominya. Masyarakat atau kerajaan di pesisir pantai tidak terlampau terpengaruh oleh sistem India Selatan ini. Di masa mendatang, wilayah-wilayah pesisiran kerap melakukan pembangkangan politik atas kuasa sentral di pedalaman. Misalnya, pemberontakan Pati (pesisir Utara) di bawah pimpinan Adipati Pragola terhadap Sultan Agung Hanyakrakusuma di Yogyakarta (pedalaman-sentral).
Negara pesisir lain semisal Sriwijaya juga biasanya mengandalkan perdagangan sebagai basis ekonominya. Dalam Negara yang demikian, tidak diperlukan wilayah pertanian, petani yang banyak, sistem komando yang tersentralistik, serta pedalaman yang luas oleh sebab barang produksi dapat diperoleh lewat interaksi pertukaran. Hubungan lebih berada dalam suasana egalitarian. Ini mungkin menjadi sebab Sriwijaya pun lebih terpengaruh oleh Buddha ketimbang Hindu.
Sebaliknya, di Jawa lebih berkembang pengaruh Hindu. Ini akibat basis ekonomi Jawa yang kental nuansa pertaniannya. Contoh dari ini adalah kerajaan Majapahit, Kediri, Singasari, juga Mataram Kuno. Mereka adalah Negara-negara agraris. Letaknya di daerah-daerah subur lembah sungai, gunung berapi, dan rakyatnya hidup dari bercocok tanam. Akibat surplus beras, mulailah kerajaan-kerajaan Jawa ini berekspansi keluar wilayah (misalnya Majapahit) dengan mencari Negara-negara bawahan di kepulauan Nusantara. Pola sentralistik kuasa politik mereka kemudian berbenturan dengan nuansa egalitarian di kerajaan-kerajaan (atau wilayah-wilayan) pesisiran.
Kerajaan Jawa biasanay tersusun secara hirarkis, dengan semua pemberkatan diutarakan kepada raja. Namun, susunan ini hanya berlangsung di level atas (palace circle) sementara masyarakat biasa hampir tidak tersentuh oleh ciri ini. Inilah yang mungkin mengakibatkan pengaruh-pengaruh lain semisal Islam dan Barat (terutama Islam yang egalitarian) masuk dengan mudahnya ke kalangan masyarakat Indonesia.
Alkuturasi Budaya Hindu-Budha di Indonesia
1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu - Budha pada abad 5 - 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 - 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.
2. Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme.
Dengan masuknya agama Hindu - Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Tentu Anda bertanya apa yang dimaksud dengan Sinkritisme? Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu - Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut dapat Anda lihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.
3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat Anda lihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun.
Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Pemerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan Majapahit, pada waktu pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata).
Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.
4. Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M
Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Apakah Anda sebelumnya pernah mendengar istilah Candrasangkala? Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
5. Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.
Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.
Di samping itu, dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih.
Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Candi Singasari adalah salah satu peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 - 1268.
Dilihat dari candi tersebut, bentuk dasarnya adalah punden berundak- undak dan pada bagian bawah terdapat kaki candi yang di dalamnya terdapat sumuran candi, di mana di dalam sumuran candi tersebut tempat menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana).
Untuk candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu untuk memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa.
Candi Borobudur adalah candi Budha yang terbesar sehingga merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram dilihat dari 3 tingkatan, pada tingkatan yang paling atas terdapat patung Dyani Budha.Patung-patung Dyani Budha inilah yang menjadi tempat pemujaan umat Budha. Di samping itu juga pada bagian atas, juga terdapat atap candi yang berbentuk stupa.
Untuk candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.
6. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan . Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul), gambar timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha.
Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran.
Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
Demikian penjelasan tentang wujud akulturasi dalam bidang kesenian. Dan yang perlu dipahami dari seluruh uraian tentang wujud akulturasi tersebut bahwa unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur budaya yang dominan dalam kerangka budaya Indonesia, karena dalam proses akulturasi tersebut, Indonesia selalu bertindak selektif.
6. Arsitektur
Arsitektur atau seni bangunan ala masa Hindu-Buddha juga bertahan hingga kini. Meski tampilannya tidak lagi serupa benar dengan bangunan Hindu-Buddha (candi), tetapi pengaruh Hindu-Buddha membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi khas.
Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha adalah “berundak.” Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia. Undakan tersebut paling jelas terlihat di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.
Hal yang khas dari arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama yaitu ‘kepala’, ‘badan’ dan ‘kaki.’ Ketiga bagian ini melambangkan ‘triloka’ atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa).
Pengaruh sistem 3 tahap hidup religius manusia ini bertahan cukup lama. Bahkan ia banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa yang lebih kekinian. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak dari bangunan spiritual semisal masjid maupun profan (biasa) semisal Gedung Sate di Bandung.
Arsitektur semacam candi ini sebagian terus bertahan dan mempengaruhi bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu ini. Masjid Kudus aslinya bernama Masjid Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Yang unik adalah, sebuah menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan arsitektur candi Hindu.
Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat pada gerbang masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornament khas Hindu.
Banyak hipotesis yang diutarakan mengapa Jafar Shodiq menempatkan arsitektur Hindu ke dalam sebuah masjid. Hipotesis pertama mengasumsikan pembangunan tersebut merupakan proses akulturasi antara budaya Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya dengan budaya Islam yang hendak dikembangkan. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi Cultural Shock yang berakibat terasingnya orang-orang pemeluk Islam baru sebab tercerabut secara tiba-tiba dari budaya mereka.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa penempatan arsitektur Hindu diakibatkan para arsitek dan tukang yang membangun masjid menguasai gaya bangunan Hindu. Ini berakibat hasil pembangunan mereka bercorak Hindu.
Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal Gedung Sate yang terletak di Kota Bandung. Gedung Sate didirikan tahun 1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Ornamen-ornamen di bawah dinding gedung secara kuat bercirikan ornament masa Hindu Indonesia. Termasuk pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip dengan menara masjid Kudus atau tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali.
Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu juga ditampakkan Masjid Demak. Nuansa arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M misalnya tampak pada atap limas yang bersusun tiga (meru), mirip dengan candi dimana bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna tersebut kemudian ditransfer kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan ihsan.
Ciri lainnya adalah bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Atap tertinggi yang berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di pura Hindu.6
7. Kesusasteraan
Salah satu peninggalan Hindu di bidang sastra yang terkenal adalah Ramayana, Mahabarata, dan kisah perang Baratayudha. Sastra Hindu ini cukup berpengaruh terhadap budaya asli Indonesia semisal wayang. Wayang yang tadinya digunakan sebagai media pemberi nasihat tetua adat terhadap keluarga yang ditinggalkan kini memiliki trend tersendiri. Ia digunakan sebagai basis pengajaran agama dan budaya.
Tokoh-tokoh wayang yang kini terkenal adalah Pandawa Lima (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana (Hanoman, Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas Arjuna sebelum perang).
Tokoh-tokoh wayang di atas memainkan peran sentral dalam kesenian wayang Indonesia. Sementara, budaya asli Indonesia coba mengimbanginya dengan hadirkan tokoh-tokoh punakawan semisal Semar, Petruk, Gareng, atapun Bagong. Selaku pengimbang, punakawan kerap mampu menaklukan para tokoh yang berasal dari kesustareraan Hindu. Ini merupakan upaya dari orang Indonesia untuk terus berada dalam posisi dominan terhadap budaya "luar".
Kini, wayang diakui sebagai budaya asli Indonesia dengan segala variannya. Di masa perkembangan Islam, wayang kerap digunakan Sunan Kalijaga guna menyebarkan Islam. Ia menciptakan cerita semisal Jamus Kalimasada, yang menceritakan kalimat syahadat dengan Semar selaku tokoh yang berikan pengajaran kepada Pandawa.
Cerita-cerita yang terkandung di dalam kesusasteraan India di atas memiliki nilai moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan, kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang tua serta Negara. Tradisi sastra Hindu ini justru memperkaya khasanah cerita wayang lokal Indonesia di antaranya dengan menghadirkan tokoh-tokoh serta alur cerita yang sangat variatif.
Sisa peninggalah Hindu kini paling jelas terlihat di Bali dan sebagian masyarakat Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam daerah konservasi pengaruh Hindu yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni bangunan, seni ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa pengaruh peradaban Hindu.
___________________
Referensi :
(Adaptasi) Pengaruh Bahasa Sanskerta oleh Bahasa Melayu Kuna dalam http://culture.melayuonline.com/?a=SlRSWi9xUksvQVRVY01rZQ%3D%3D%3D&l=(adaptation-the-influence-of-sanskrit-on-(ancient-malay〈=Indonesia download tanggal 2 Mei 2009.
James T. Collins, Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu, (Jakarta: KPG, 2009) h.23.
Kathy S. Stolley, The Basics of Sociology, (Connecticut: Greenwood Press, 2005).
Kayato Hardani, Peristiwa Diglosia dalam Masyarakat Jawa Kuna: Suatu Interpretasi Linguistis atas Kehadiran Unsur Serapan Bahasa Sanskerta di dalam Prasasti Bahasa Jawa Kuna Abad 9-10 Masehi, (Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, tt) h.3.
Koentjaraningrat, Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, Cet.22, 2007) h. 21.
Kesimpulan:
• Penyebaran Budaya Hindu-Budha di Indonesia telah membawa berbagai dampak bagi kehidupan di Indonesia.
• Budaya di Indonesia berakulturasi dengan budaya Hindu-Budha sehingga mengenal berbagai hal seperti kesustraan, seni bangunan, bahasa, wayang, maupun agama Hindu-Budha
• Budaya Indonesia sebelumnya pada waktu itu pun mulai berasimilasi dan mengarah ke pengaruh budaya Hindu-Budha yang masuk pada waktu itu. Sehingga Indonesia mejadi mengenal bermacam budaya yang tentunya membawa dampak yang menguntungkan dan berguna bagi amsayarakat Indonesia.
• Hingga sekarang pun budaya-budaya tersebut masih tetap lestari di Indonesia walaupun sedikit berubah pemikirannya yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman.
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar terbaik atau pertanyaan untuk artikel di atas dan tetap setia mengunjungi "Guntara.com" dengan alamat www.guntara.com terimakasih!